Tumpeng merupakan
kependekan dari “tumapaking panguripan/tumindak lempeng tumuju pangeran”, yang
artinya dalam menjalani kehidupan ini manusia harus Tumindak (bertindak/bertingkah laku) Lempeng (lurus) menuju Tuhan Yang Maha Esa dengan cara menjalankan segala
perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Tumpeng bukan sekedar sajian pelengkap dalam segala
ritual adat dan tradisi yang ada di pulau Jawa. Tujuan utama dari pembuatan
tumpeng adalah sebagai wujud syukur atas rahmat yang telah diberikan, memohon
perlindungan dan keselamatan, memperingati peristiwa penting, serta sarana agar
segala keinginan dapat terkabul.
Dalam naskah Ramayana, Arjuna Wijaya, dan Kidung Harsa Wijaya dikemukakan bahwa tumpeng selalu menjadi hidangan dalam berbagai pesta. Di dalam serat Centhini tumpeng dikenal dalam berbagai peristiwa makan.
Karakteristik serta filosofi didalam Tumpeng diantaranya adalah :
- Memiliki jumlah menu tujuh macam
- Lauk dalam tumpeng berjumlah tujuh macam, dalam bahasa jawa tujuh disebut “pitu” .
- Pitu mengacu pada Pitulungan atau pertolongan, yang artinya memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Berbentuk Kerucut
- Nasi dalam Tumpeng berbentuk kerucut serta dikelilingi tujuh lauk disekitarnya
- Kerucut merupakan simbolisasi dari gunung, serta tujuh lauk disekelilingnya yang berupa aneka olahan sayur dan daging.
- Hal ini adalah gambaran bahwa tumpeng merupakan symbol ekosistem dari kehidupan di alam semesta. Dimana di Alam semesta ini terdapat manusia, hewan/binatang dan juga tumbuh-tumbuhan.
Dengan panjangnya sejarah yang dimiliki Tumpeng serta banyaknya makna yang terkandung didalamnya, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Pemerintah Indonesia menjadikan Tumpeng sebagai ikon kuliner nasional.